Friday, January 24, 2014

Gelombang dingin melanda Indonesia??

Beberapa hari terakhir, apakah anda merasa dingin yang tidak biasanya? Di banyak kota dilaporkan temperatur yang lebih rendah dari biasanya. Banyak pembicaraan di media sosial tentang kondisi ini. Bukan tidak mungkin fenomena gelombang dingin sedang melanda wilayah kita. Berbeda dengan gelombang dingin ekstrim yang melanda Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu sehingga sampai menyebabkan air terjun Niagara membeku, gelombang dingin yang melanda wilayah kita tergolong "biasa-biasa saja". Ada baiknya kita mengenal sedikit banyak tentang fenomena gelombang dingin tersebut.
Gelombang dingin (cold surge) merupakan suatu fenomena cuaca yang masih sangat sedikit diteliti oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Gelombang dingin ini polanya mirip dengan terjadinya monsoon di Asia Tenggara. Dia berasal dari Asia Tengah yang menjalar ke arah timur dan tenggara yang bisa diperkuat oleh angin pasat timur laut bisa mencapai ekuator dan bahkan melampauinya sampai belahan bumi selatan. Dampak yang bisa ditimbulkan oleh gelombang dingin ini adalah penurunan temperatur, peningkatan kecepatan angin, dan peningkatan curah hujan. Di wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa ... gelombang dingin meningkatkan curah hujan yang kebanyakan di wilayah pesisir pantai.
Gelombang dingin (peneliti dan akademisi di Indonesia sering menyebutnya dengan seruak dingin walaupun istilah ini tidak jelas siapa yang memunculkannya ... mungkin ahli bahasa Indonesia) bisa dideteksi di Hongkong  dimana dalam satu hari bisa terjadi penurunan temperatur sampai 5oC dan peningkatan kecepatan angin sebesar lebih dari 10 knot. Sebenarnya dapat dengan mudah dideteksi penjalarannya bila kita mempunyai data tentang angin, temperatur, serta tekanan. Biasanya bila gelombang dingin ini tidak sampai menjalar ke belahan bumi selatan maka akan terjadi vortex di  laut China Selatan.
Yang belum pula mendapatkan perhatian dari para peneliti cuaca dan iklim di Indonesia adalah fenomena gelombang panas yang berasal dari benua Australia meskipun sebenarnya para peneliti Australia sudah cukup banyak membahasnya pada era akhir tahun 1980 an dan awal 1990 an. Mungkin karena dianggap pengaruhnya tidak sebesar monsoon maka penelitian gelombang panas ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup besar.

Saturday, January 18, 2014

Pembentukan es dalam awan dingin

Proses tumbukan dan gabungan merupakan proses yang sangat penting untuk menghasilkan presipitasi dalam awan panas yang tidak mengandung es. Hanya awan yang relatif dangkal (ketebalannya kecil) yang tidak mengembang tinggi ke dalam troposfer yang tidak memiliki apa-apa selain tetes air; contohnya awan stratus (St). Awan-awan besar mengembang ke atas di wilayah troposfer dimana temperaturnya di bawah level beku. Awan dingin ini mengandung es dan tetes air superdingin.
Saat temperatur mendingin di bawah level beku 0 oC, tetes air besar cenderung membeku lebih dulu mendahului tetes yang lebih kecil. Saat tetes air memerlukan temperatur yang lebih rendah untuk membeku, jumlah tetes air superdingin dalam awan dingin akan berkurang terhadap ketinggian. Pengintian es spontan hanya terjadi pada temperatur yang sangat rendah. Kalau dalam awan panas pembentukan tetes disebabkan aksi inti kondensasi maka pada awan dingin pembentukan tetes diakibatkan oleh aksi inti es. Inti es bisa berasal dari aerosol ataupaun pecahan kristal es. Sedikitnya inti es mencegah permulaan pembentukan es di awan terjadi cepat.
Ketika tetes air cair superdingin dan partikel es berada dalam parsel udara yang sama maka tetes air akan mencoba untuk menjaga tekanan uap lebih tinggi daripada pada partikel es. Pengendapan ini sama cepatnya dengan penguapan tetes air. Hasilnya adalah bahwa kristal es tumbuh sedangkan tetes air akan mengecil. Proses yang digambarkan tersebut dikenal dengan proses Wegener-Bergeron-Findeisen atau sering disebut proses Bergeron. Proses ini merupakan mekanisme dominan pembentuk presipitasi (salju, hail dsb).

Bagaimana hujan terbentuk?

Kalian tahu khan "hujan"? Tapi tidak semua orang tahu, bagaimana hujan bisa terbentuk. Seperti saat ini dimana hujan sudah banyak terjadi di wilayah kita. Dengan kata lain, musim hujan telah terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hujan, ada baiknya kita mengenal dulu ukuran tetes awan dan hujan. Tetes awan berukuran 0,02 mm sedangkan tetes hujan berukuran 2 mm. Tetes kabut dan awan terbentuk dari agregasi uap air melalui proses kondensasi pada inti kondensasi yang bersifat higroskopis (menyerap uap air di sekelilingnya). Pada kelembapan relatif 75-80% kebanyakan inti kondensasi mulai tumbuh. Saat kelembapan relatif mendekati 100%, inti kondensasi yang lain menjadi teraktivasi. Awalnya tetes kecil tumbuh dengan cepat dalam suatu parsel udara yang mendingin tetapi saat menjadi besar, laju pertumbuhannya turun dengan cepat. Akibatnya proses pertumbuhan kondensasi ini menjadi demikian lambat untuk menghasilkan tetes air berukuran tetes hujan (bisa butuh waktu sampai berhari-hari).  
( http://www.wanitamakassar.com)
Dalam awan panas, tetes hujan dapat tumbuh melalui proses tumbukan dan gabungan. Dalam proses ini tetes besar yang jatuh akan bertambah besar akibat tumbukan dengan tetes-tetes kecil dalam lintasan jatuhnya. Mekanisme ini bekerja karena tetes besar jatuh lebih cepat daripada tetes kecil. Ada 2 gaya yang bekerja pada obyek yang jatuh yakni gaya gravitasi yang mempercepat obyek menuju ke permukaan bumi dan gaya gesekan yang memperlambat proses jatuh tersebut. Ketika kedua gaya ini seimbang maka obyek akan jatuh pada laju yang tunak dan konstan yang disebut kecepatan terminal. Kecepatan terminal tetes yang besar lebih besar daripada tetes yang kecil.
Mekanisme tumbukan dan gabungan seperti disebut di atas lebih lanjut bisa dijelaskan sebagai berikut. Updraft dalam awan cenderung menahan tetes jatuh untuk naik. Tetes dengan kecepatan terminal kurang dari kecepatan updraft akan diangkat ke level yang lebih tinggi di dalam awan. Tetes akan jatuh dari awan bila kecepatan terminalnya melebihi kecepatan updraft. Proses pertumbuhan tetes oleh proses tumbukan dan gabungan akan meningkat karena lebarnya spektrum ukuran tetes sehingga jangkauan kecepatan terminal tetes lebar.  Selain itu juga karena konsentrasi tetes yang tinggi, updraft dalam awan yang kuat sehingga waktu tumbukan menjadi lebih lama, serta perbedaan muatan listrik pada tetes yang menghasilkan peluang tumbukan dengan tetes lain. Kalau tetes-tetes awan tersebut berkembang menjadi tetes-tetes hujan melalui proses di atas maka terbentuklah hujan.

Thursday, January 16, 2014

Proses fisis pembentukan hujan dan "kesalahan pemikiran" tentang modifikasi cuaca

Indonesia telah memasuki musim hujan. Setiap hari selain berita politik ditampilkan berita-berita seputar hujan dan banjir di banyak tempat. Sampai tadi malam, diberitakan dari wilayah Timur Indonesia terjadinya banjir di Manado, Sulawesi utara yang digambarkan oleh kepala BNPB daerah sebagai mirip tsunami. Sesuatu yang wajar mengingat interaksi monsoon, La Nina dan perairan sekitar Sulawesi yang hangat sehingga memicu timbulnya hujan lebat di wilayah tersebut.
Banjir di Jakarta juga lebih dulu diberitakan dan upaya-upaya untuk mengatasinya gencar diekspos di media massa. Dalam media online juga ramai  dibicarakan masalah ini; ada yang pro dan kontra serta banyak yang pesimis dan mencibir upaya pemerintah daerah DKI Jakarta dalam mengatasi banjir. Sejak kemarin BNPB pusat dan pemerintah daerah DKI telah meminta BPPT UPT Hujan Buatan untuk turut serta mengatasi banjir di Jakarta dengan melakukan modifikasi cuaca.
Menyimak apa yang dikemukakan oleh saudara Heru Widodo kepala UPT Hujan Buatan alam wawancaranya dengan Kompas TV, ada hal yang perlu saya komentari. Pertama adalah adanya anggapan bahwa dengan melaksanakan hujan buatan maka curah hujan di Jakarta akan berkurang dan seolah-olah tidak menimbulkan bencana di wilayah lain. Ini tentu harus dikoreksi. Prinsip hujan buatan adalah mempercepat proses tumbukan dan tangkapan tetes air yang ada di atmosfer dengan memberikan tambahan inti kondensasi di awan. Benar bahwa hujan akan lebih cepat jatuh di suatu tempat namun yang menjadi masalah adalah jika hujan tersebut jatuh di wilayah daratan yang lain bisa menimbulkan masalah misal banjir dan tanah longsor di wilayah lain. Dengan kata lain jangan sampai masalah banjir di Jakarta coba diselesaikan dengan menimbulkan masalah lain di tempat lain. Apakah ini sudah dipikirkan? Kita harus berhitung dengan cermat agar awan-awan yang disemai menghasilkan hujan di wilayah-wilayah yang diperkirakan tidak akan menimbulkan masalah baru, oleh karena itu tidak boleh hanya menyebar asal-asalan yang penting terjadi hujan.  Yang kedua adalah perlu dikembangkan teknik dan metode baru untuk melerai atau menceraiberaikan awan hujan. Pada prinsipnya ini hanya masalah bagaimana agar tetes-tetes awan dan hujan menghilang sehingga seperti membalikkan proses pembentukan hujan buatan.
Untuk kalangan awam yang tidak pernah belajar tentang meteorologi, perlu saya berikan sekilas gambaran bagaimana terbentuknya hujan. Awan terdiri dari tetes-tetes awan yang berukuran sangat kecil (dalam ukuran mikron) yang mengapung di atmosfer. Tetes-tetes ini berasal dari inti kondensasi yang menyerap uap air di sekitarnya. Akibat gaya angkat dan gaya gravitasi  yang mungkin berbeda maka tetes-tetes awan yang berukuran beraneka ragam akan jatuh dan menumbuk tetes awan lain sehingga tetes awan tersebut akan bergabung membentuk tetes hujan. Agar terbentuk tetes hujan diperlukan ratusan ribu bahkan jutaan tetes awan. Tetes hujan tersebut akan jatuh jika gaya gravitasinya lebih besar daripada gaya angkat yang ditimbulkan oleh updraft. Penyebaran atau penyemaian inti kondensasi yang bersifat higroskopis ke dalam awan memperbesar peluang terjadinya tetes hujan. Karena perawanan di Indonesia kebanyakan merupakan awan-awan panas dan campuran, maka penyemaian inti kondensasi menggunakan garam dapur. Material yang berbeda digunakan untuk jenis awan dingin yang banyak terjadi di lintang tengah dan tinggi.


Tuesday, January 14, 2014

Efektifkah modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir di Jakarta??

Dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah daerah DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT akan melaksanakan rekayasa/ modifikasi cuaca dalam hal ini menjatuhkan hujan di tempat lain di luar Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar hujan yang diperkirakan akan jatuh di Jakarta dapat dijatuhkan di luar Jakarta. Seperti telah kita ketahui bersama dalam beberapa hari terakhir, banjir telah melanda sebagian besar Jakarta. Tanggal 1 Januari 2014 yang lalu, saya telah posting peluang terjadinya banjir di banyak tempat di Indonesia berdasarkan prediksi curah hujan kuartal pertama tahun 2014. Saya memperkirakan curah hujan akan mencapai puncaknya awal dan pertengahan Pebruari yang kemudian akan menurun untuk wilayah-wilayah yang bertipe curah hujan monsoon seperti Jakarta. Jadi bisa kita bayangkan jika pada saat sekarang ini saja sebagian Jakarta telah terendam air, bagaimana nantinya bila curah hujan telah mencapai maksimum.
Kembali pada upaya modifikasi cuaca di atas. Meskipun saya tidak yakin akan keberhasilannya dalam mengatasi banjir di Jakarta, ada baiknya untuk kita coba lakukan. Pada saat ini angin yang bertiup adalah dari barat daya sampai  barat laut yang membawa banyak uap air yang berpotensi menjadi awan hujan seperti kumulonimbus (Cb), kumulus (Cu) dan Nimbostratus (Ns). Bila awan-awan hujan ini dijatuhkan di selat Sunda misalnya, maka kemungkinan untuk terjadinya hujan di Jakarta akan berkurang tetapi tidak meniadakan sama sekali hujan. Biaya 28 milyar rupiah relatif tidak besar jika dibanding dengan manfaat yang kemungkinan bisa diperoleh. Meskipun demikian patut menjadi pertimbangan juga bahwa banjir yang selama ini menimpa Jakarta tidak hanya disebabkan semata-mata karena hujan tetapi juga karena perilaku masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang kurang terpuji. Misalnya seperti membuang sampah sembarangan/ ke sungai/ saluran drainase, merusak lingkungan di bagian hulu/ merambah waduk/ tempat penampungan air, membangun perumbahan di sepanjang bantaran sungai sehingga mengganggu aliran sungai, mengurangi peresapan/ infiltrasi air ke dalam tanah sehingga memperbesar run off, dan yang tidak kalah pentingnya adalah karena tinggi topografi Jakarta yang relatif rendah. Faktor topografi yang rendah dan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim diperkirakan akan menenggelamkan kurang lebih 24,2% wilayah Jakarta pada tahun 2050 (Safwan Hadi dkk). Nah lho, ibukota negara masih tidak akan dipindahkan???

Wednesday, January 1, 2014

Ramalan cuaca dan musim awal tahun 2014

Tampaknya awal tahun 2014, cuaca dan musim akan relatif seperti biasanya. Melihat nilai indeks dipole mode yang negatif demikian juga dengan kondisi La Nina yang diperkirakan lemah serta monsoon Asia yang diperkirakan akan makin menguat, ditambah lagi dengan perairan wilayah Indonesia yang cenderung panas (lebih dari 28 oC, terkecuali di selat Karimata dan selatan Yogyakarta) maka kemungkinan hujan akan banyak terjadi di banyak wilayah Indonesia. Dari mulai Aceh sampai dengan Papua, peluang terjadinya hujan akan besar. Tren presipitasi diperkirakan akan cenderung meningkat dimana puncaknya sekitar awal sampai pertengahan Pebruari, setelah itu cenderung menurun. Meskipun untuk masing-masing pulau mengalami kecenderungan meningkat tetapi bukan berarti selalu meningkat di atas normal. Ada kalanya tren peningkatan tersebut ditandai dengan sedikit penurunan di bawah normal seperti misalnya di Kalimantan bagian tengah dan Bengkulu.
Di kuartal pertama mendatang, di atas wilayah Indonesia pada ketinggian sekitar 850 mb terjadi konvergensi antara angin baratan dengan angin timuran yang menyebabkan wilayah ini banyak mengalami hujan konvektif. Ini berarti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kepulauan lainnya akan dilanda hujan yang cukup besar sehingga berpeluang terjadinya banjir di banyak tempat. La Nina yang diperkirakan dalam taraf lemah memberikan peluang wilayah Indonesia akan mengalami sedikit penambahan curah hujan dibanding normalnya.
Wilayah-wilayah Indonesia yang mempunyai pola hujan tipe A (baca postingan sebelumnya) seperti sebagian sumatera bagian selatan, seluruh Jawa, dan Nusa Tenggara serta Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan sebagian Papua banyak dipengaruhi oleh monsoon yang membawa cukup banyak hujan pada kuartal pertama 2014. Sumatra bagian utara dan tengah (Sumatera Barat dan sekitarnya) akan banyak dipengaruhi oleh dipole mode negatif sehingga peluang terjadinya hujan juga makin besar. Di sisi timur yakni Papua dan sekitarnya juga berpeluang hujan lebih besar karena La Nina lemah ditambah monsoon Asia yang akan cukup kuat; apalagi mengingat perairan sekitar Papua yang cukup hangat yang menambah timbulnya perawanan konvektif.






Sekilas peristiwa cuaca 2013

Tahun 2013 telah berlalu, sekarang saatnya menapaki tahun baru tahun 2014. Bencana alam baik gempa, tsunami sampai dengan siklon/ hurricane silih berganti mewarnai kehidupan umat manusia di dunia ini. Peristiwa alam yang sangat merugikan umat manusia ini terkadang sulit untuk diprediksi. Siapa yang mampu memprediksi gempa, tsunami dan siklon? Dari ketiga macam bencana tersebut, yang agak bisa diprediksi adalah siklon yang merupakan peristiwa cuaca. Tidak ada yang mampu memprediksi dengan tepat kejadian gempa dan tsunami karena pencetusnya berada di bawah permukaan bumi. Masih beruntung bahwa peristiwa cuaca semacam siklon bisa diprediksi karena berada di atas permukaan bumi. Meskipun demikian, namanya juga prediksi/ ramalan ... bisa saja meleset. Tidak ada jaminan bahwa ketepatan prediksi akan 100% tepat benar bahkan oleh ahli meteorologi sekalipun.
Beruntunglah bahwa Indonesia terletak di sekitar ekuator sehingga efek peristiwa alam di atas (dalam hal ini siklon tropis) tidak sampai menjangkau wilayah ini. Hanya memperoleh imbas dari ekor siklon ini, baik yang terjadi di belahan bumi utara maupun selatan. Biasanya dampaknya adalah angin kencang dan gelombang laut yang tinggi di beberapa wilayah Indonesia yang berdekatan dengannya. Peristiwa cuaca yang paling dominan terjadi di wilayah Indonesia adalah kekeringan dan banjir serta yang beberapa tahun terakhir turut mengemuka adalah puting beliung (tornado-like).
Beberapa minggu terakhir karena di banyak tempat di wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan, banjir terjadi dimana-mana. Sesuatu yang wajar mengingat sudah banyak wilayah di negara ini lingkungan sudah banyak mengalami perubahan. Hutan-hutan dirambah, perencanaan tata kota dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat, saluran-saluran air terganggu fungsinya, dan perilaku sosial masyarakat yang tidak peduli pada lingkungan memperbesar peluang terjadinya banjir meskipun kadangkala dengan curah hujan yang tidak deras.
Puting beliung di pulau Jawa yang mempunyai tendensi meningkat beberapa tahun terakhir ini juga makin sering terjadi dengan kerugian harta benda dan bahkan sesekali korban jiwa. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti korban jiwa akan makin bertambah dengan makin banyaknya cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan ini. Sudah saatnya bagi kita untuk makin peduli pada lingkungan agar timbal balik lingkungan kepada kita juga makin baik dan tidak timbul bencana alam yang merugikan umat manusia.