Friday, January 22, 2016

Sesuaikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan kondisi cuaca dan musim

Sudah menjadi kebiasaan kita bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan cuaca dan musim pada saat itu. Dana pembangunan biasanya turun pada saat-saat menjelang pertengahan bahkan akhir tahun. Ketika sudah akhir tahun, sibuk dengan berbagai kegiatan yang dipaksakan untuk dilaksanakan agar dana tidak hangus. Itu kalau kita mau jujur. Semua instansi pemerintah melakukan hal tersebut. Ini sebenarnya membuktikan bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam mengelola penggunaan dana pembangunan. Celakanya lagi ketika pembangunan  infrastruktur  dilaksanakan seringkali memasuki musim hujan khususnya bagi daerah-daerah yang bertipe curah hujan monsoonal. Hal ini tidak saja membuat pembangunan tidak efektif dan efisien namun juga membentuk karakter asal jadi sehingga keluarlah ilmu kepepet dimana semua dipercepat pada akhir tahun tidak begitu memperdulikan kualitas hasil.
Negara kita adalah Negara tropis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Merupakan wilayah kepulauan yang indah yang berada di antara samudra Hindia dan Pasifik, antara benua Asia dan Australia. Mengalami pemanasan sepanjang tahun (12 jam/hari) dengan suhu yang cukup tinggi, kelembapan tinggi, dan tekanan yang rendah serta mengalami sirkulasi Hadley, Walker dan lokal. Kombinasi berbagai faktor inilah yang menyebabkan wilayah kita mempunyai perawanan (awan-awan) vertical  yang terbesar di dunia, mengalahkan yang berada di atas Amerika Selatan dan Afrika tropis. Keberadaan transfer panas melalui udara inilah yang turut menyumbang pada pola cuaca di belahan bumi berlintang lebih tinggi. Boleh dikatakan bahwa Indonesia merupakan jantungnya cuaca , musim dan iklim global. Keberadaan wilayah kontinen maritim ini membawa pengaruh pada terbentuknya osilasi dan gelombang di atmosfer yang bisa berdampak global.
Gerak semu matahari di antara lintang 23,5o LU sampai dengan 23,5o LS memberi pengaruh nyata pada pembentukan pola curah hujan di tanah air. Kita mengenal 3 pola curah hujan yakni monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Pola monsoonal ditandai dengan tingginya curah hujan selama Desember-Januari-Pebruari  dan rendahnya curah hujan selama bulan Juni-Juli-Agustus. Dengan kata lain, bentuk monsoonal ini bila diplot antara besarnya curah hujan dan waktu (bulan) maka menyerupai bentuk huruf V. Pola ekuatorial ditandai dengan bentuk plot yang menyerupai huruf M dimana bulan Maret-April-Mei dan September-Oktober-November curah hujannya tinggi dibanding bulan-bulan lainnya. Sedangkan tipe curah hujan lokal ditunjukkan dengan pola yang berkebalikan dengan pola monsoonal. Umumnya wilayah Indonesia bertipe curah hujan monsoonal diikuti oleh tipe ekuatorial dan paling sedikit yang bertipe lokal. Area dari tipe curah hujan monsoonal adalah sebagian besar Sumatera khususnya bagian selatan, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara, Kalimantan bagian Selatan, sebagian besar Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Pola ekuatorial membentang di sekitar ekuator/katulistiwa dari barat sampai timur sedangkan pola lokal banyak terjadi di wilayah sekitar pegunungan.
Dengan kondisi semacam di atas sudah seharusnya hal tersebut diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Di antara sekian banyak parameter cuaca dan iklim maka curah hujanlah yang paling terlihat dampaknya. Negara-negara di lintang tengah dan tinggi seluruhnya mempertimbangkan cuaca dan musim dalam keseharian aktivitas pembangunan. Pada saat musim dingin praktis semua pembangunan infrastruktur luar ruangan dihentikan sedangkan pada saat musim panas semuanya dipercepat. Kita kurang belajar dari pengalaman Negara-negara lain tersebut. Tidak heran kalau pembangunan infrastruktur sering boros anggaran. Seharusnya dengan 3 tipe hujan tersebut maka ada 3 tipe penganggaran.
Sebenarnya pihak yang berwenang untuk mengeluarkan ramalan musim (BMKG) telah jauh-jauh hari mengumumkan ramalannya. Ramalan cuaca bahkan setiap hari disampaikan dalam media masa cetak dan elektronik. Masyarakat pun diberi keleluasaan untuk mendapatkan informasi cuaca gratis melalui situs yang dimilikinya. Namun sayangnya informasi yang diberikan tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam semua kegiatan pembangunan. Hanya beberapa instansi saja yang sudah cukup melek (sadar) akan pentingya informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) sedangkan yang lain kurang begitu peduli. Barangkali BMKG belum menyuguhkan informasi yang bisa dicerna oleh instansi-instansi tersebut untuk operasional kesehariannya. Bisa pula disebabkan oleh kasarnya resolusi informasi yang diberikan, dengan kata lain keakuratannya masih kasar karena mencakup daerah yang luas sementara yang dibutuhkan adalah yang beresolusi tinggi. Dengan sumber daya manusia yang sudah makin meningkat namun dengan dukungan instrument dan super computer yang belum memadai menyebabkan belum optimalnya ramalan yang diberikan.
Sebenarnya dengan sedikit memodifikasi lembaga semacam BMKG ini maka akan diperoleh hasil yang optimal. Kebijakan-kebijakan yang mengekang dan membatasi terhadap keterbukaan data seharusnya dihilangkan. Negara-negara maju banyak menganut sistem “open data” dimana masyarakat luas dapat mengakses data cuaca dan iklim dengan sangat mudah. Hal ini berbeda dengan di Negara kita dimana kebijakan/peraturan perundang-undangan membatasi masyarakat luas untuk memperoleh data. Bahkan dikeluarkan keppres untuk mengatur harga data. Seharusnya sudah kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi “data collecting, processing and analyzing” yang dilakukan oleh BMKG. Masyarakat yang menggunakan data BMKG seharusnya cukup dengan mencantumkan bahwa sumber data adalah dari BMKG, misal dalam makalah-makalah yang ditulisnya. Ini tidak saja merupakan sosialisasi peran BMKG dalam pembangunan namun juga pelibatan masyarakat dalam peningkatan mutu layanan kepada masyarakat melalui kegiatan penelitian. Penelitian-penelitian yang baik akan menunjang pada peningkatan kualitas layanan informasi cuaca, musim dan iklim sehingga akan terjadi proses simbosis mutualisma (saling menguntungkan). Sudah saatnya peraturan/keppres tersebut dicabut.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 kemarin sudah seharusnya membuka wawasan, cakrawala berpikir pemerintah dan masyarakat akan begitu pentingnya informasi cuaca, musim dan iklim. Bila sejak awal pemerintah menyadari pentingnya informasi cusiklim tersebut maka kejadian kebakaran hutan dan lahan kemarin tidak akan terlalu parah. Usaha yang dilakukan pemerintah seperti water bombing dan hujan buatan oleh UPT hujan buatan BPPT akan lebih efektif dan efisien. LAPAN, BMKG, Departemen LHK, BNPB, dan TNI bisa lebih focus dan tidak saling tunggu komando, apalagi kalau sudah menyangkut anggaran yang cukup riskan pertanggungjawabannya. Pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Selatan pada saat itu Bapak Presiden tampaknya juga kurang memperoleh pemahaman yang utuh tentang cusiklim sehingga dengan sangat yakinnya menyatakan dalam satu pekan kebakaran hutan dan lahan akan teratasi. Semoga saja hal ini tidak terjadi lagi.
Selain masalah “open data” di atas, pemerintah harus menambah resolusi spasial dan temporal untuk data cusiklim dengan mempercanggih teknologi pengumpulan data misalnya dengan mengotomatisasikan pengambilan data cuaca, penyimpanannya, dan pengolahannya. Dengan perbanyakan AWS (automatic weather station) di seluruh wilayah tanah air, katakanlah satu kota mempunyai  10  AWS saja maka resolusi spasial bisa ditingkatkan dengan signifikan. Meskipun kita mendapatkan citra satelit namun hasilnya masih harus dikalibrasi dengan data pengamatan permukaan, misal dengan AWS ini. Industri instrument meteorologi dan klimatologi juga akan makin berkembang dengan penerapan alat-alat meteorologi dan AWS di seluruh tanah air, tidak lagi berorientasi impor. Bahkan mungkin akan banyak software-software produk lokal yang mampu memproses data cusiklim dengan akurat, dan banyak dampak positif lainnya.

Friday, January 15, 2016

Pertanyaan-pertanyaan tentang El Nino dan La Nina

Sidang pembaca yang budiman ... saya diminta oleh Penerbit ITB untuk memperbarui buku kecil saya "Sudah benarkah pemahaman Anda tentang El Nino dan La Nina?" yang saya tulis tahun 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, saya minta bantuan kalian untuk mengajukan berbagai pertanyaan kepada saya terkait dengan El Nino dan La Nina. In sya allah saya akan jawab melalui buku yang akan diterbitkan tahun 2016.
Kunanti ya di: joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id
Salam hangat penuh semangat dariku di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Media masa sangat dibutuhkan untuk ...

Saat sekarang ini peran media masa sangat meningkat tajam. Semua berita baik menyangkut kegiatan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pertahanan dan keamanan dan lain-lain sudah merupakan sajian sehari-hari dan tidak mengenal waktu. Dari mulai pagi hari, siang, sore, malam bahkan dini hari kita terpapar oleh segala macam berita baik dari media cetak maupun elektronik. Sayangnya kadangkala (atau bahkan mungkin terlalu sering) sisipan-sisipan pesan dari pemilik media terpampang luas di depan mata. Bukan hal sulit untuk membuktikan adanya pertentangan arus antara pihak media yang pro pemerintah dan yang kontra pemerintah. Di media sosial seperti twitter dan facebook juga banyak bertebaran pendapat atau berita antara pendukung dan yang kontra. Ini semua adalah berkah dari efek globalisasi dan keterbukaan informasi di negara kita. Jarang ada orang yang ditangkap karena pendapat-pendapat pribadinya yang menyudutkan pihak tertentu. Meskipun demikian sudah merupakan hal yang wajar jika media masa tidak malah mengompori suatu kasus tertentu namun harus lebih bertanggungjawab atas segala isi yang disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat juga seharusnya kritis terhadap berita yang beredar.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan seni peran media ini juga sangat dibutuhkan. Ilmu dan teknologi kebumian sangat penting perannya dalam memahami tentang kondisi bumi dan perilakunya. Bencana alam yang sering terjadi di bumi Indonesia dan belahan bumi lainnya seringkali tidak diberitakan dengan baik karena keterbatasan sudut pandang para awak media. Dengan latar belakang yang sangat beragam, maka sulit untuk para awak media mampu mengemas berita tentang bencana alam dengan manis dan kaya informasi. Substansi berita jauh lebih sering memberitakan aspek-aspek sosialnya, bukan masalah bencana alam itu sendiri. Tidak salah memang hal seperti disebut di atas, namun bila aspek-aspek bencana alamnya juga turut dikupas maka masyarakat bisa tercerdaskan dan bisa turut berperanserta dalam mitigasi dan adaptasi terhadap kemungkinan bencana alam serupa terjadi. Oleh karena itu maka pendidikan dan pelatihan untuk awak media sangat diperlukan untuk  meningkatkan kemasan berita yang kaya informasi tentang suatu peristiwa bencana alam. Konsultasi dengan para pakar yang didukung oleh pemahaman wartawan yang lebih baik tentang fenomena bencana bisa mengurangi kesalahan dalam pemberitaan.

Saturday, January 9, 2016

Negeri tanggap bencana

Wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai pulau Rote terletak pada kawasan yang rawan bencana alam, baik dari pengaruh dari dalam bumi maupun dari luar permukaan bumi. Istilah geofisik yang keren untuk itu adalah dalam kawasan "rings of fire". Terletak di wilayah retakan-retakan antara lempeng benua dan lempeng samudra yang sangat aktif. Gempa bumi baik akibat gunung api meletus maupun gempa tektonik merupakan peristiwa yang sudah biasa terjadi dan sering menimbulkan kerusakan hebat. Akhir-akhir ini tsunami juga sering terjadi mengingat sesar turun atau naik yang terjadi di patahan-patahan tersebut pada kedalaman episenter kurang dari 10 km yang mempunyai skala Richter lebih dari 5. Peristiwa di atas permukaan bumi tidak kalah serunya. Imbas dari siklon baik di Australia maupun di Philippina sering menyebabkan ombak besar yang sangat mengganggu aktivitas nelayan dan pelayaran baik di wilayah selatan maupun utara negeri. El Nino di samudra Pasifik juga mempunyai dampak yang kurang baik bagi musim di Indonesia. Kekeringan sering terjadi khususnya untuk wilayah yang berpola curah hujan monsoon. Kebalikan dari El Nino adalah peristiwa La Nina yang sering membawa dampak peningkatan curah hujan di tanah air. Banjir, longsor dan banyaknya petir sering mengiringi kejadian La Nina di samudra Pasifik tropis ini. Kombinasi kejadian El Nino dengan Dipole Mode positif akan lebih memperparah kejadian kekeringan di tanah air yang bisa memicu dan memperparah kejadian kebakaran hutan. Sedangkan bila terjadi La Nina dan Dipole Mode negatif maka peluang peningkatan curah hujan yang besar meningkat tajam. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila pemerintah kita tanggap akan bencana-bencana yang sering terjadi ini. Penguatan kelembagaan yang terkait dengan bencana alam ini harus makin ditingkatkan dan sosialisasi serta pendidikan publik terkait dengan hal ini juga harus dilaksanakan sejak usia dini. Kesadaran semacam ini sudah harus dibangun  melalui pendidikan formal dan non formal, melalui semua media yang dapat menjangkau masyarakat luas baik di perkotaan maupun tempat-tempat terpencil. Bila hal ini bisa terwujud maka kerugian harta benda dan jiwa akan bisa diminimalisir. Alat-alat early warning system terjaga dari kerusakan dan dari tangan-tangan jahil sehingga ketika saat digunakan dapat berfungsi dengan baik. Sering tidak begitu disadari bahwa kita mampu mengadakan dan membangun sistem peringatan dini namun tidak mampu merawatnya. Sekali lagi, penyadaran masyarakat akan pentingnya alat-alat ini juga harus dibangun. Tanpa keterlibatan aktif mereka, hampir mustahil tujuan mulia tanggap bencana alam akan tercapai.

Wednesday, January 6, 2016

Sudah saatnya ada keterbukaan akses data cusiklim di Indonesia

Menarik mengamati dan memperhatikan jawaban para mahasiswa dalam ujian kuliah Meteorologi Tropis yang saya ajarkan. Salah satu pertanyaan yang saya ujikan adalah tentang apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) mendapatkan perhatian serius dalam proses pembangunan. Masih disadari bahwa informasi cusiklim ini merupakan informasi yang tidak diperhatikan serius dalam proses pembangunan sehingga banyak terjadi pemborosan anggaran. Ambil contoh misalnya pembangunan infrastruktur luar ruangan seperti jalan raya, jembatan, rel kereta api, bandar udara, pelabuhan dan lain-lain yang sering  tidak mempertimbangkan masalah cusiklim. Keterlambatan pencairan dana sehingga pembangunan infrastruktur terjadi pada saat musim hujan tentu menjadikan kegiatan tersebut tidak efektif dan efisien. Di sisi lain informasi tentang ramalan cuaca juga masih harus ditingkatkan. BMKG sebagai ujung tombak dalam layanan ramalan cuaca memang mesti didorong untuk meningkatkan keakuratan pelayanannya. Negara-negara maju amat sangat menyadari pentingnya informasi cusiklim ini, seperti misalnya Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jerman, Perancis, Inggris dan lain-lain yang memperhitungkan dengan amat sangat serius dalam proses pembangunan. Lembaga cuaca dan iklim di negara-negara tersebut memiliki data yang mereka buka secara luas. Lembaga-lembaga pemerintah memberikan akses yang mudah bagi masyarakat dunia yang membutuhkan informasi cusiklim melalui berbagai website yang mereka luncurkan. Di Indonesia, keterbukaan data ini baru dilakukan beberapa tahun terakhir, misalnya oleh LAPAN yang memungkinkan  para mahasiswa dan peneliti dapat dengan mudah mengakses data. Penelitian-penelitian yang dilakukan akan bisa mendukung pada akurasi ramalan cuaca dengan cukup mencantumkan sumber datanya diperoleh dari mana. Simple!
Di Amerika Serikat ada sebuah program yang mengajak masyarakat untuk ikut menyumbangkan informasi atau data cuaca dari manapun mereka berada. Di kitapun ada, yang diinisiasi oleh para mahasiswa program studi Meteorologi ITB. Sebagai bentuk kepedulian para mahasiswa ITB pun diluncurkan program early warning system untuk banjir di wilayah Bandung bekerjasama dengan pemerintah kota Bandung. Oleh karena itu sudah seharusnya jika setiap lembaga pemerintah yang melayani publik melibatkan masyarakat untuk perbaikan pelayanannya dan tidak sekedar mencari untung dengan menetapkan harga tertentu untuk memperoleh data. Bila itu terjadi maka lembaga-lembaga layanan masyarakat dan penelitian akan makin dicintai masyarakat. Semoga demikian.