Tuesday, September 26, 2017

Kekeringan di Indonesia diprediksi tidak akan berlangsung terlalu lama


Beberapa waktu terakhir ini media massa tidak terkecuali harian PR memberitakan tentang kekeringan yang melanda khususnya sebagian wilayah di Jawa Barat dan umumnya di beberapa wilayah di tanah air. Keluhan dari warga yang mengalaminya memang sebagian ditanggapi dengan  cepat oleh pemerintah daerah namun tidak jarang penanganannya terkesan lambat. Wilayah-wilayah yang sulit terjangkau kendaraan roda empat merupakan wilayah yang paling menderita mengingat bantuan air dari pemerintah daerahnya selalu terlambat sehingga masyarakat harus berjuang sendiri untuk beradaptasi dengan kekeringan. Sebenarnya terdapat 3 jenis kekeringan yakni kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Tujuan dari tulisan ini adalah mengungkapkan peluang / kemungkinan sampai kapan kekeringan ini berlangsung dan bagaimana upaya yang semestinya dilakukan agar dampak kekeringan pada masyarakat semacam ini bisa diminimalisasi.

Faktor-faktor pengontrol musim di Indonesia
            Di Indonesia terdapat 3 jenis pola sirkulasi atmosfer yang berpengaruh pada proses pembentukan hujan. Ketiganya adalah sirkulasi Hadley yang berarah Utara – Selatan, sirkulasi Walker yang berarah Barat – Timur, dan sirkulasi lokal seperti angin darat, laut, lembah, dan gunung. Interaksi ini berlangsung sedemikian kompleks sehingga menghasilkan tiga jenis pola curah hujan yakni pola monsoonal, ekuatorial dan lokal atau disebut masing-masing sebagai pola A, B, dan C. Ketiga pola sirkulasi di atas dikendalikan pula oleh kondisi monsoon, ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dan Dipole Mode. Wilayah Jawa Barat mempunyai tipe curah hujan monsoonal artinya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus curah hujannya kecil bahkan mungkin tidak ada hujan sama sekali. Sedangkan puncak musim hujan berkisar bulan Desember-Januari-Pebruari. Mengingat hal demikian maka kesetimbangan air dalam tanah juga akan terpengaruh yang memicu adanya surplus dan defisit air di tanah.

            Bagaimana kondisi saat ini?
Secara klimatologis, indeks AUSMI (Australian Monsoon Index) menunjukkan nilai negatif sehingga kemunculan monsoon yang menghasilkan hujan kemungkinan sangat kecil terjadi. Indeks ini dikembangkan antara lain bisa digunakan untuk mengetahui kira-kira kapan musim kemarau dan hujan di Indonesia terjadi. Ia meliputi area sebagian wilayah Indonesia bagian Tenggara dan sebagian wilayah Utara Australia.
El Nino yang berulang dengan intensitas berbeda setiap 2-7 tahun juga membawa dampak yang cukup signifikan bagi musim di Indonesia. Umumnya El Nino membawa dampak pengurangan curah hujan yang signifikan khususnya di Indonesia bagian Timur. Wilayah yang biasanya digunakan sebagai patokan untuk menentukan indeks El Nino adalah wilayah Nino 3.4 yang kurang lebih sempit yang dibatasi dengan 5o LU – 5o LS yang membujur sekitar ekuator di tengah-tengah samudra Pasifik. Sampai bulan Juli 2017 kemarin, anomali suhu permukaan laut di wilayah tersebut menunjukkan tren penurunan positif. Ini berarti peluang terjadinya El Nino agak menurun. Hal tersebut dikuatkan oleh prediksi peluang terjadinya El Nino yang menurun dari 46% menjadi 40% di bulan Juli – Agustus – September. Sementara itu kondisi normal berpeluang lebih besar yakni sebesar 56%, jauh dibanding prakiraan La Nina yang hanya 4% saja. Peluang pola normal juga masih akan berlangsung di atas 50% sampai Oktober – November mendatang sementara peluang El Nino sedikit mengalami penurunan dan La Nina menguat sampai sedikit di atas 10%. Prediksi model ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dari banyak instansi menunjukkan kemungkinan anomali suhu permukaan laut yang bernilai positif sampai dengan akhir tahun ini.  Ini berarti ada kemungkinan El Nino terjadi  tapi lebih besar kemungkinannya untuk terjadi kondisi normal.
Faktor besar ketiga yang penting untuk dipantau keberadaannya adalah suhu permukaan laut di samudra Hindia ekuator bagian barat dan timur yakni pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera Indonesia yang dinyatakan dengan  Indeks Dipole Mode (IODM). Prediksi yang dilakukan oleh 6 badan dunia 80% menunjukkan bahwa nilai IODM netral/normal sedangkan dua lainnya yakni badan meteorologi Kanada dan Inggris meramalkan nilai yang positif. Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa kondisi saat ini adalah normal.
           

            Salah satu model peramalan peluang presipitasi (salah satu bentuknya adalah curah hujan) global menunjukkan bahwa wilayah Indonesia berpeluang 40-50% hujan di atas normal. Wilayah Jawa Barat sendiri berpeluang hujan di atas normal sebesar 40an% pada bulan September – Oktober – November 2017. Ini berarti bahwa peluang kondisi di bawah normal sampai normal mendekati 60%.
Dengan demikian maka mengingat kondisi kliimatologis dan hasil prediksi berbagai lembaga dunia  (dengan catatan: bila itu benar) menunjukkan bahwa peluang terbesar saat ini adalah berada dalam kondisi normal. Yang menarik adalah mengapa pada saat kondisi normal justru saat ini sebagian wilayah mengalami kekeringan?? Beberapa jawaban yang mungkin tidak memuaskan adalah sebagai berikut. Pertama, kesetimbangan air di alam terganggu akibat interaksi yang kompleks antara proses-proses di alam dan manusia. Kedua adalah kondisi iklim yang berubah. Pemanasan global yang dipicu oleh keberadaan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menghasilkan perubahan iklim di banyak tempat di bumi. Perusakan lingkungan menyebabkan neraca air di alam terganggu yang memicu terjadinya 3 jenis kekeringan di atas. Oleh sebab itu untuk beberapa waktu ke depan kita masih harus bersabar agar musim hujan segera terjadi.
Saat ini yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah gerakan hemat air. Instansi terkait melakukanmanajemen air yang lebih baik agar surplus dan defisit air bisa dikontrol. Dalam jangka panjang harus mendidik masyarakat untuk mencintai lingkungannya karena sekecil apapun yang manusia lakukan, dalam jangka panjang ada imbasnya ke diri manusia.

Kampus Ganesha Bandung, 18 September 2017

No comments:

Post a Comment